Sabtu, 30 Januari 2016

Optimisme dan Tantangan Sektor Properti 2016

 
Selain reksadana, deposito berjangka, dan emas murni, salah satu bentuk investasi yang kerap menjadi andalan selama bertahun-tahun oleh masyarakat adalah sektor properti.
Namun, dengan adanya perlambatan ekonomi global yang berdampak pada berbagai bidang aktivitas perekonomian, pertumbuhan sektor properti pada 2015 juga ikut melambat. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana kondisinya dengan tahun 2016 ini? Konsultan properti internasional Jones Lang LaSalle (JLL) menyatakan tahun 2016 ini diperkirakan bakal merupakan kebangkitan optimisme bagi pelaku sektor properti, tetapi juga perlu disertai dengan tingkat kewaspadaan tinggi.
"Minat para klien investor dan penghuni kami tetap tinggi, dan kami memandang 2016 dengan penuh optimisme disertai kewaspadaan," kata Country Head JLL Indonesia, Todd Lauchlan.
Menurut dia, tahun 2015 untuk sektor properti di Indonesia dapat dinilai sebagai tahun yang penuh tantangan, antara lain karena pertumbuhan ekonomi berada di bawah perkiraan.
Selain itu, lanjut dia, faktor lainnya adalah pergerakan rupiah yang bersama dengan mata uang lainnya melemah secara signifikan terhadap dolar AS, dan rendahnya harga komoditas menimbulkan kekhawatiran di Jakarta. "Akan tetapi, tahun yang akan datang permintaan akan meningkat bagi pasar perkantoran dan residensial sementara bagi sektor ritel, diperkirakan tetap stabil," ucapnya.
Senada dengan prediksi JLL, asosiasi pembangun rumah nasional seperti Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah juga mengutarakan harapannya agar pada tahun 2016 ini bisa menjadi tahun investasi properti khususnya untuk rumah tinggal.

"Bahkan, 'tagline' (slogan) kami untuk tahun ini adalah tahun investasi properti," kata Wakil Ketua REI Jateng Bidang Promosi, Humas, dan Publikasi Dibya K Hidayat di Semarang, Selasa (12/1).
Sementara itu, meski realisasi penjualan rumah pada tahun lalu tidak sesuai dengan target, pihaknya memastikan kondisi tersebut tidak akan mengurangi minat pengembang dalam membangun rumah.
"Saya rasa para pengembang khususnya yang bermain di sektor menengah komersial tidak akan mengurangi minat untuk tetap membangun," katanya.
Selain itu, ada bonus lainnya yang juga berdampak positif bagi para pembeli properti, yaitu terkait dengan penurunan suku bunga acuan (BI rate).
Sebagaimana diberitakan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk memangkas BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen dari 7,5 persen, dengan "lending facility" 7,75 persen dan "deposit facility" 5,25 persen.
"Ini sesuai dengan pernyataan kami sebelumnya bahwa ruang pelonggaran moneter semakin terbuka, dan ekonomi domestik semakin membaik," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam konferensi pers menyampaikan hasil RDG Januari 2016 di Jakarta, Kamis (14/1).
Untuk itu, momentum penurunan suku bunga acuan tersebut juga dinilai harus dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang berkecimpung di sektor properti untuk meningkatkan kinerja pembangunan dan penjualan perumahan di berbagai daerah di Tanah Air.
"Dengan turunnya suku bunga ini, suku bunga perbankan pun harus dipaksa turun untuk dapat memberikan stimulus yang nyata bagi pergerakan pasar perumahan nasional," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda.
Menurut Ali Tranghanda, penurunan suku bunga acuan tersebut dapat menjadi momentum yang baik bagi pihak perbankan.

Hal itu, ujar dia, menyusul analisis yang dilakukan oleh IPW terhadap penjualan rumah di Bodetabek-Banten menunjukkan pertumbuhan yang cukup potensial.
"Dapat dijelaskan hubungan dengan turunnya setiap 1 persen suku bunga KPR akan meningkatkan potensi pangsa pasar empat persen sampai lima persen," katanya.
Ali mengungkapkan, kajian yang dilakukan pihaknya menunjukkan kenaikan pertumbuhan penjualan sebesar 16,6 persen dibandingkan dengan angka triwulan sebelumnya.
Meskipun demikian secara tahunan, lanjutnya, angka penjualan tersebut dinyatakan masih lebih rendah 10,87 persen dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun lalu.
Ia juga menyatakan, meskipun diakui pertumbuhan ini belum dapat dipastikan sebagai pola yang berlanjut, namun paling tidak merupakan sinyal positif untuk pasar perumahan.
Teror Tidak Berdampak Bagaimana halnya dengan aksi teror pengeboman dan baku tembak yang terjadi di kawasan Sarinah/Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu? Apakah hal itu akan berdampak kepada kinerja sektor properti? "Aksi bom yang terjadi belum lama ini di Thamrin, Jakarta diperkirakan tidak akan berdampak sistemik bagi penjualan perumahan secara nasional," kata Ali Tranghanda.
Selain itu, menurut dia, IPW mencermati ternyata periode akhir tahun ini yang sarat juga dengan musim liburan malah tidak berdampak langsung pada penjualan rumah secara keseluruhan.
Sebelumnya, Ali juga telah memprediksi bahwa pasar properti yang sedang melambat pada tahun 2015 diperkirakan bakal segera naik kembali setelah 2015.
"Dengan perkiraan titik terendah pasar properti 2015, maka posisi pasar properti telah dalam posisi paling rendah dan akan segera naik dalam waktu tertentu," katanya dan menambahkan, sejak 2013 sebenarnya tanda-tanda perlambatan sudah terjadi akibat harga yang sudah terlalu tinggi dan pasar yang telah jenuh.
Sedangkan sepanjang 2014, ujar dia, tercatat terjadi penurunan penjualan perumahan sepanjang tahun sebesar minus 72 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Terkait dengan sejumlah pihak yang menyatakan bakal terjadi krisis, Ali mengungkapkan meski beberapa indikator ekonomi terjadi goncangan seperti anjloknya nilai mata uang rupiah namun secara fundamental seharusnya tidak akan terjadi krisis.
"Dari sisi pajak memang meresahkan dunia bisnis properti dengan pengenaan PPnBM dan pajak supermewah. Meskipun Indonesia Property Watch mengkritik aturan tersebut karena pemerintah tidak menggunakan batasan harga yang wajar, namun dengan kondisi ini justru pasar properti akan bergerak ke segmen menengah," katanya.

Ia memprediksi bahwa meski pasar menengah atas masih dalam tekanan, namun pasar akan segera menyesuaikan diri dengan menyasar segmen menengah. Untuk itu, para pengembang menengah atas yang masih terdistorsi harus berubah atau bakal terkena risiko kehilangan pasar yang besar.
IPW juga dalam kajiannya beberapa waktu lalu mengingatkan pemerintah agar benar-benar fokus pada pengembangan perumahan menengah-bawah yang dinilai bisa menyelamatkan sektor properti yang mengalami penurunan penjualan pada tahun 2015.
Untuk itu, ujar Ali Tranghanda, pemerintah juga dinilai harus dapat mempercepat program pembangunan sejuta rumah yang memang dipersiapkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di berbagai daerah.
Percepatan tersebut, lanjut dia, dapat dilakukan dengan memperbanyak sumber dana yang harus disiapkan, mengingat bahwa dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp5,1 triliun untuk membiayai 68 ribu unit rumah telah habis terpakai per Juli 2015, sedangkan permintaan masih cukup banyak.
"Selain itu, aturan uang muka sebesar 1 persen belum sepenuhnya dapat terlaksana di lapangan dengan berbagai syarat yang ditetapkan," katanya.
Tantangan Penerapan Tapera Namun, sejumlah program pemerintah dalam membantu perumahan khususnya bagi kaum menengah-bawah juga mendapatkan sejumlah tantangan.
Misalnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan menolak tegas dengan sejumlah isi dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) karena sumber pembiayaan tersebut bakal dibebankan kepada dunia usaha.
"Kami akan menyiapkan langkah-langkah hukum dan kami juga akan abaikan (bila RUU Tapera disahkan)," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/1).

Sebagaimana diketahui, saat ini RUU Tapera yang bertujuan memenuhi kebutuhan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dilaporkan telah memasuki tahap akhir dan ditargetkan menjadi UU pada Maret 2016.
Apindo, ujar Hariyadi Sukamdani, menghargai tujuan dari RUU Tapera yaitu untuk memberikan perumahan bagi masyarakat berpenghasilajn rendah.
Namun demikian, lanjutnya, Apindo menolak dengan tegas UU tersebut diberlakukan jika sumber pembiayaan untuk penyediaan perumahan itu dibebankan kepada dunia usaha.
Dia memaparkan, argumen tersebut mengingat beberapa hal yaitu beban pungutan untuk dunia usaha baik pihak perusahaan maupun kalangan pekerja sudah sangat besar sehingga penambahan pungutan betapa pun besarnya akan semakin menjadikan dunia usaha tidak kompetitif.
Berdasarkan data Apindo, beban pungutan yang sudah ditanggung oleh pengusaha adalah sekitar 18-19 persen dari penghasilan pekerja yang antara lain dari jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan kesehatan, dan cadangan pesangon.
Kemudian bila rata-rata kenaikan upah dalam lima tahun terakhir sekitar 14 persen, masih berdasarkan data Apindo, maka beban tahunan pengusaha untuk taat pada peraturan perundang-undangan dapat mencapai sekitar 35 persen.
Ia mengingatkan bahwa perumahan juga sudah tercakup dalam komponen hidup layak dalam penghitungan upah minimum berdasarkan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan juga masuk dalam cakupan program BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk bantuan uang muka perumahan dan subsidi bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Untuk itu, jika UU Tapera tetap akan diberlakukan, maka Apindo menginginkan untuk peserta unsur pekerja formal agar pembiayaannya tidak bersumber dari penambahan pungutan kepada dunia usaha.
"Dana yang dihimpun di BPJS Ketenagakerjaan cukup besar. Oleh aturan dimungkinkan untuk digunakan dalam investasi pembiayaan perumahan," katanya dan menambahkan, optimalisasi dana publik seperti BPJS Ketenagakerjaan sangat penting guna memenuhi kebutuhan dasar pekerja yaitu perumahan.
Ketum Apindo juga menyatakan bahwa tidak ada urgensinya atau hal yang mendesak terkait Tapera untuk pekerja formal, dan bila untuk pekerja informal maka itu adalah urusannya negara atau pemerintah untuk mengintegrasikan langkah dan kebijakan yang mengatasi hal itu.
Sementara itu, Ketua Harian Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Anton J Supit menginginkan kebijakan terkait perumahan tidak hanya dibiarkan dilakukan oleh satu kementerian teknis agar target sektor perumahan tercapai padahal dampaknya juga bisa berpengaruh kepada kebijakan sektor lainnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif DPN Apindo Agung Pambudhi berpendapat bahwa bila RUU Tapera itu dipaksakan untuk diberlakukan maka semangatnya dinilai tidak akan sejalan dengan paket-paket kebijakan pemerintahan saat ini.
Untuk itu, segala rintangan dan hambatan dalam menerapkan Tabungan Perumahan Rakyat yang diterima oleh berbagai pihak juga menjadi tantangan tersendiri yang harus dipecahkan untuk menjaga momentum positif properti pada 2016.

Selengkapnya: http://www.properti.net/artikel-optimisme-dan-tantangan-sektor-properti-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar